Selasa, 30 Desember 2008

Catatan Akhir Tahun 2008

Puji syukur aku ucapkan kehadirat Illahi Robbi, manakala sampai setidaknya siang ini, Rabu, 31 Desember 2008 aku masih dalam keadaan yang sehat dan baik, meskipun rasa ngilu dan keju/capek dikaki saban malam masih menimpaku yang mungkin salah satunya diakibatkan dari tanggungan yang dibebankan di kedua kaki oleh karena berat badan ku yang tergolong very super overweight ini.


Tahun 2008, secara garis besar aku lalui dengan proses dinamika internal yang cukup dinamis, setidaknya dimulai dari bulan Januari dan Pebruari dimana sakit jantung ku kambuh dan terpaksa di rawat inap di RSJ Harapan Kita Jakarta, setelah pulang sekitar 2 minggu dirumah ... tampaknya kesehatan ku ngedrop lagi .... dan aku menerima tawaran alternatif untuk berobat melalui sistem pijat syaraf di Mbalun - Banjarnegara - Jawa Tengah tepatnya di rumah Pak Ugiyanto, beliau menyarankan untuk mondok/rawat inap selama setidaknya 3 bulan, tapi dengan alasan pekerjaan, maka hanya aku sanggupi untuk mondok selama 1 bulan setengah.


Tapi apa lacur, setelah seminggu lepas dari Mbalun, ternyata penyakitku kambuh lagi, dan itu terjadi sewaktu aku mau pulang kampung ke Simo dan Manjung. Kejadiannya di Ungaran - Semarang. Terpaksanya aku mondok lagi alias rawat inap di RS Kariadi (bagian jantung) - Semarang - Jawa Tengah. Disini aku bertemu Dokter Shodiqul Rifki yang aku anggap cukup teduh dan lembah manah.


Dalam pengembaraan ini pun aku mengenal banyak orang baik, yang sudi membantuku dalam berbagai cara yang ia miliki dan ia kuasai, ada Pak Dokter Nurcholish (sahabatnya Lek Njum), ada Pak Dokter Mada (sahabatnya Om Hendro), dan ada si paranormal cilik (seorang gadis belia) yang masih terhitung sebagai ponakannya (saudara) Lek Hendro


Bulan April menjelang akhir bulan, aku akhiri semua pembolosanku yang terhitung selama 3 bulan lebih ini untuk kembali menginjakkan kakiku di ruang kerjaku, di lantai 5 gedung Bulog I, bagian Penyaluran Kelembagaan Pemerintah.


Betapa bersyukurnya aku, terhitung sejak bulan itu - meskipun obat masih diminum secara rutin - ternyata penyakitku boleh dikatakan menjauh dariku, atau setidaknya menjaga jarak dengan ku .... terkadang sepertinya ingin mendekat ... tapi aku berhasil mengusirnya dan menjauh kembali dan seterusnya ....


Sampai pada gilirannya dengan kebaikan (kesehatan) ku ini, maka aku dapat ikut tes seleksi untuk penerimaan mahasiswa program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan alhamdulillah, aku dinyatakan lulus dan lolos sehingga diterima untuk melanjutkan S-2 di IPB Bogor yang dilaksanakan sekitar bulan Juli, yang konsekuensinya maka sejak itu maka aku dinyatakan sebagai mahasiswa dan sebagai buruh/pekerja dengan kewajiban ganda dimana kalau pagi bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi ku sebagai pegawai Bulog, dan malam harinya harus tertekun, terpaksa dan dengan susah payah mengikuti perkuliahan sampai jam 10 malam (22.00 WIB), itu belum jika harus mengerjakan banyak tugas tugas dari dosen yang rata rata adalah Professor. Belum lagi hari sabtu yang biasanya libur, terpaksa harus menempuh perkuliahan di Bogor seharian penuh dari pagi hingga malam harinya, benar benar menguras energi, uang, dan tenaga ... apalagi kesehatan.


Bulan Agustus sampai Desember ini, alhamdulillah berhasil aku jalani dengan sepenuhnya, meskipun terus terang aku merasa keteter sekali dengan dunia perkuliahan yang sekarang, yang mengutamakan bidang studi berbasis Matematika dan Statistika, serta ilmu ilmu pertanian yang tidak aku kenal sebelumnya. Bahkan aku sempat hampir ngedrop manakala mengerjakan tugas dari Professor. Bomer Pasaribu (mantan Menakertrans) yang lebih dari 100 halaman itu.


Tahun 2008 ini aku tutup dengan sedikit bernostalgia dengan kawan kawan seangkatan sewaktu kuliah S-1 dulu di Administrasi Negara Fisipol UNS Surakarta angkatan tahun 1988 dengan acara Reuni keluarga alumni atau "Home Coming Party". Dan tentunya kembali bekerja di dua hari kejepit ini 30 dan 31 Desember 2008, mengapa tumben tumbenan aku menjadi karyawan yang baik ?


Bukan itu masalahnya, sebab tanggal 30 Desember adalah kuliah terakhir Manajemen Kuantitatif dan Sabtunya, 3 Januari 2008 adalah ujian terakhir Manajemen Kuantitatif.


sungguh,


Selasa, 05 Agustus 2008

Kuliah Perdana

Bulan Agustus 2008 ini menjadi momentum dimana aku dengan segala keterpaksaan untuk sekedar usaha me merdeka kan diri dari kebodoh an dan ketertinggalan tidak lain dan tidak bukan hanya dengan satu satunya cara yang gentleman yaitu sekolah lagi dan belajar lagi.

Padahal kegiatan dan proses mendengar, membaca, mencatat, dialog, diskusi dan membuat kertas kerja ilmiah sampai dengan presentasi makalah sudah efektif aku tinggalkan sejak 14 tahun yang lalu, jadi saat ini yang ada dalam badan ku hanyalah semangat dan keterpaksaan belaka.

Beberapa pepatah menyebutkan :
"Barang siapa ingin merdeka, harus perang dahulu !"
"Rawe rawe rantas, malang malang putung"
"Ngelmu iku kelakone kanthi laku, lekas e lawan kas"
"Ber rakit rakit ke hulu, berenang renang ketepian"
kalau ini sih syair lagu dari Raja Dangdut Bang Haji Rhoma Irama.

Background ku yang berasal dari Fisipol yang berbasis ilmu ilmu sosial juga cukup melambatkan akselerasiku dalam mengikuti percepatan dalam bidang ilmu ilmu pertanian dan eksak. Aku ketemu lagi dengan Matematika, Akuntansi, Manajemen, Ekonomi, Bisnis, Agribisnis, Pertanian yang notabene adalah benar benar baru dalam ranah jejaring otak ku ini.

Kuliah selesai jam 10 malam (22.00 wib), esok harinya masuk kantor jam 7.30 wib belum di kurangi waktu untuk perjalanan, Hari Sabtu dari pagi sampai malam hari kuliah di Bogor. Terus terang hal ini akan sangat mengganggu jadwal untuk metheti perkutut kesayangan dan berkebun di pot pot tanaman halaman depan.

Gusti Allah, kulo nyuwun pitulung

Ini adalah resiko perjuangan !
Kalau tidak sekarang, kapan lagi !
kalau tidak saya, siapa lagi !

Senin, 28 Juli 2008

Mahluk Sosial

Membaca milis Kahmi Pro beberapa waktu lalu, aku teringat sentilan salah seorang anggota :

"Bila semasih mahasiswa (belum usia 30 tahun) anda tidak sosialis maka anda tidak punya hati nurani ! Tapi bila sudah diatas usia 30 tahun anda masih sosialis berarti anda tidak punya kepala alias tidak punya otak !"

Dari posting ini, pikiran ku teringat pada beberapa puluh tahun yang lalu tepatnya tahun 1990 an sewaktu menjadi aktivis mahasiswa UNS dan sekaligus aktivis HMI di kota Solo dimana semenjak selesai perkaderan LK I mulailah muncul ke permukaan peredaran buku buku teori kritis dari kawan satu ke kawan yang lain (saling pinjam) yang wajib untuk dibaca dan dipahami jika ingin disebut sebagai aktivis mahasiswa dan aktivis gerakan mahasiswa.

Buku buku itu antara lain misalnya buku buku Soekarno seperti Dibawah bendera Revolusi, Sarinah, Indonesia menggugat !, buku buku sastra sejarah Pramudya Ananta Toer (PAT) seperti Anak semua bangsa, panggil aku kartini saja, gadis pantai, perburuan, buku buku pergerakan karya Soe Hok Gie seperti catatan seorang demonstran dan dibawah lentera merah, Bukunya Ahmad Wahib Pergolakan Pemikiran Islam, buku buku karya Kuntowijoyo seperti Pergolakan kaum tani, buku Soedjatmoko, buku buku Bung Hatta, buku buku dari Tan Malaka seperti Madilog, buku buku Islam kritis Fazlur Rahman, buku buku karya Nurcholish Madjid, buku buku Amien Rais, Imam Ghozali sampai buku buku karangan orang orang asing seperti Peter L Berger, Kazuo Shimogaki, Juergen Habermass, Mariyah Mernissi, Karl Marx, John Naissbit dan Patricia Aburdene dan yang paling mutakhir adalah bukunya Karl May.

Bahkan irama musik dan syair lagu pun ikut menginspirasi pergerakan moral ku waktu itu, misalnya bagaimana aku tergila gila dengan lagu lagunya Iwan Fals, Lagu lagunya kelompok Kantata Taqwa, lagu lagunya Franky dan Jane, Ebiet G Ade, Pitat Haeng, Leo Kristi dan lagu lagunya Sawung Jabo.

Rata rata isi buku dan syair lagu dan diskusi tentang semuanya itu saling berkait dan memberikan pemahaman atas cita cita kemanusiaan yang hendak memerdekakan diri dari kebodohan, kemiskinan, ketidak berdayaan dengan berjuang melawan Tuan tanah, Penguasa ekonomi kaum kapitalis dan politik yang totaliter, sistem ekonomi yang terpusat pada kaum borjuis dan konglomerat sementara yang lainnya adalah buruh, pekerja dan kaum minoritas yang miskin dan bodoh (proletar).

Lebih parahnya lagi adalah sejarah bangsa Indonesia yang seolah larut dan kekal dari budaya kaum tertindas, terjajah, konflik internal, terpecah belah dan bermuara kembali pada kemiskinan dan kebodohan, bahkan Tan Malaka dalam bukunya Madilog menegaskan dengan pertanyaan terbuka : " Mengapa kita sampai di jajah selama 350 tahun ???" sebuah sejarah yang sangat konyol dan memalukan serta merusak mentalitas di hampir semua anak bangsa !

Buku buku itu juga memberikan tuntunan bagi kaum muda seusiaku (kala itu pada kisaran usia 25 tahun) yang bergairah dan ambisi untuk maju, tampil dimuka dan memperjuangkan sekaligus merebut kemerdekaan itu ! kemerdekaan bukan dalam arti mengulang Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamasikan suatu bangsa, tetapi kemerdekaan dalam arti menghadapi lingkungan sekitar yang terhegemoni oleh bias kebijakan nasional rejim Orde Baru yang serba Kapitalis, Nepotis dan anti sosial yang pada gilirannya masuk ke meja belajar kita, kampus kita, organisasi kita, jiwa dan raga kita.

Dan dari sinilah anak anak yang tergabung dalam organisasi HMI cabang Solo memiliki kegairahan yang tinggi untuk senantiasa memperkaya ilmu pengetahuannya akan buku buku yang bersifat kemanusiaan, humaniora, sosial, sosialis, untuk selanjutnya membentuk/membangun opini dimasyarakat sekaligus memberdayakan pola pikir dan pola tindak masyarakat untuk berani mengungkapkan pikiran dan masalah yang dihadapinya. Rakyat diajak berpikir maju dan mandiri dan tidak dijadikan sapi perahan lagi oleh kamu kapitalis baik itu tradisional maupun kapitalis moderen.

Semenjak itu pula lingkungan pergaulan ku menjadi semakin luas dan bertemu para aktivis kota Solo, misalnya Mas Hari Mulyadi, Ahmad Mahmudi, MT Arifin, Chandra Kirana, Mashartantowi, Purwoko, Joni Nur Ashari, Ahmad Nadir, Hersy Yamanto, Mundi Rahayu, Eko Beruk, Wahyu Perot, Rohadi, Yulianto, Kohar, Mas'ad, Santo juga beberapa aktivis lintas daerah dari Salatiga, Semarang, Jogyakarta, Surabaya dan Jakarta.

Antara buku dan perkawanan itu terbentuklah sebuah aktivitas pikir dan perbuatan yang menyatakan dirinya sebagai seorang yang berpikir kritis, anti kemapanan dan menganggap regim yang berkuasa saat itu adalah sudah sangat bobrok, dititik nadir dan hamil tua.

Dari pola pikir inilah kemudian memunculkan gerakan demonstrasi mahasiswa di kota kecil Solo yang selama ini dikenal dengan kota yang adem dan ayem tentrem. Tercatat misalnya gerakan mahasiswa menolak pembangunan Kedung Ombo yang dimotori oleh Mas Joni, aksi mahasiswa menolak SDSB yang dimotori oleh Cak Oliq, aksi menolak ruislaag Mambaul Ulum yang dikoordinir oleh saya sendiri, aksi menolak ruislaag pembangunan gereja di kawasan Kenthingan oleh pemuda dan masyarakat Kenthingan, dan beberapa aksi mahasiswa lainnya.

Maklum, tahun 1990-an adalah tahun rakus rakusnya regim totalitarian Orde baru, baik ditingkat pusat sampai pada tingkat daerah. Ibarat kata pepatah Jawa, saat itu adalah saat "Heru Cokro" yang artinya Cokro/godam/gebukan lah yang paling berkuasa, artinya pula bagi siapa yang bergerak maka dapat dipastikan akan terkena sabetan/gebuk kan godam itu.

Tapi yang namanya mahasiswa, ibarat ditindas makin trengginas !, dipukul makin keras ! dan di tendang makin menantang ! disakiti makin menjadi jadi ! dan di lawan makin siap untuk berkorban ! Karena yang ada dalam darah dan hati mahasiswa yang terilhami oleh pemikiran kritis dan sosialis maka sangatlah kecil artinya melawan kedholiman seperti penguasa yang korup itu.

Entah karena apa, yang jelas buku dan perkawanan yang solid dan merupakan ruh dasar dan penyemangat utama untuk berpikir dan bertindak selalu berani melawan ke tidak adil an yang ada disekitar kita, sekecil apapun itu sampai sampai pada suatu masa aku pernah mengambil sikap emoh/anti/tidak mau untuk pergi berbelanja ke pasar moderen/plasa (mall : istilah sekarang) karena aku menganggap hal itu adalah simbol kapitalisme yag begitu menjajah ribuan orang buruh yang tidak lain adalah juga saudara saudara ku.

Pada usia menginjak tua ini selanjutnya juga ada jokes yang lainnya : "Otak sih masih Sosialis, Tapi perut yang gendut sudah mewacanakan Kapitalis dan payahnya lagi jangan jangan bawah perut nya ... Liberalis ... ?? "

oalah !

Kamis, 24 Juli 2008

Rumah di Desa Impian


Seandainya aku mempunyai halaman cukup luas bagaikan ladang di Tum Bul Gum Farm di Australia, maka aneka binatang ternak akan aku pelihara dalam wahana lingkungan sekitar rumah kediamanku. Ada burung, ayam, bebek, sapi, kambing, kucing, kalkun, kerbau, kuda, soang, merpati, kelinci, kijang, juga ikan di kolam kolam.
Aku tanami juga beraneka pepohonan, dari duren, mangga, anggur, apel, rambutan, sirsak, blimbing, kacang, lombok, tomat, jagung, pete, duku, jengkol, asem, jarak, mojo, kenari dan jati sengon. Juga aneka bunga seperti melati, mawar, anggrek, asoka, sakura, flamboyan, kenanga, gladiool, nusa indah, pinang, lavender, anthurium, gelombang cinta, juga kamboja aneka warna.
Ya, hari ini khayalan itu baru seekor zebra yang sendirian, tanpa siapa siapa. Binatang yang unik dengan warna konfigurasi antara warna hitam dan putih dan tidak bakalan ada yang sama motifnya. sebagaimana sidik jari kita.
Lalu bagaimanakah kita berandai andai mencoba membedakan mana zebra jantan dan mana zebra betina ? ada yang tahu caranya ? ada yang tahu cirinya ?
Nah, yang satu ini menurutku ini adalah zebra perempuan, sebab zebra betina/perempuan warnanya adalah putih belang belang (doreng doreng) warna hitam.
Sebab kata orang kalau zebra jantan/laki laki warnanya berbeda, yaitu bercirikan warna hitam dengan belang belang (doreng doreng) warna putih.
Silahkan memahaminya.

Selasa, 22 Juli 2008

Persiapan Sekolah

Oktober 1996 dimulailah aku bergelut di pekerjaan Kebulogan, yang dimulai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dengan jabatan sebagai staf yang ditugaskan di Kantor Depot Logistik Nusa Tenggara Timur (Dolog NTT) dengan penugasan di bagian Administrasi, berpindah ke Akuntansi selanjutnya ke Penyaluran golongan anggaran (melayani instansi vertikal, otonom, TNI/Polri, PTPN/PN, Pertamina, Transmigrasi, Kehutanan dan Karyawan) selanjutnya September 1998 dialih tugaskan di Dolog DKI Jakarta dengan penugasan di bagian Tata Usaha, ke Penyaluran, pindah ke Jasa Logistik, berlanjut ke Pergudangan dan menjadi Kasi Pengadaan Divre DKI Jakarta (kasi Pengadaan Pertama). Dan tahun 2007 Mutasi lagi ke bagian Sekretariat Perusahaan kantor Bulog Pusat sampai pada tahun 2008 mutasi lagi sebagai Kasi Penyaluran Kelembagaan Pemerintah.

Terhitung sejak tahun 1996 niat untuk meningkatkan prestasi dan pengetahuan dengan sekolah lagi sebenarnya sudah menggebu gebu, terbukti sejak kepindahan di Jakarta, akhir 1998 hampir setiap tahun memasukkan lamaran untuk mendapatkan bea siswa. Tercatat beberapa lembaga beasiswa pernah aku kirimi berkas, diantaranya AusAid, Aminef, DAAD, P dan K nya Jepang, Kedutaan Besar Austria, Oto Bappenas, UI, UGM sampai yang terakhir tahun 2008 ini di IPB.

Mungkin karena belas kasihan dari Tuhan saja, akhirnya saya dinyatakan masuk kategori A dalam seleksi penerimaan mahasiswa program S-2 di MMA/MB IPB dengan standard minimal Toefl lebih besar sama dengan 400 dan TPA lebih besar sama dengan 500, dan angka yang saya peroleh pas pas an saja.

Mungkin, inilah jalan yang di per-untuk kan pada saya, dan Bulan Agustus 2008 adalah bulan penanda aku di uji untuk bersekolah lagi, Tuhan hanya Pada Mu aku mohon pertolongan.

Jumat, 11 Juli 2008

Aku, HMI dan Bulog

Dengan penuh rasa syukur aku menerima kenyataan ini sebagai sebuah proses perjalanan sejarah yang setidaknya saling terkait satu dengan yang lain dan rasanya sulit untuk bisa dipisahkan.

Dalam dunia kemahasiswaan yang pernah aku jalani sewaktu di Solo dahulu, sebenarnya aku adalah tergolong mahasiswa yang biasa biasa saja. Tidak ada keunggulan sama sekali yang bisa dibanggakan. Hanya secara lahiriyah, aku memang memiliki postur tubuh yang cenderung tinggi besar, dan sejak bangku SMP aku aktif di dunia olah raga, terutama olah raga seni bela diri.

Di bangku SMP (SMPN X) di Magelang, aku adalah anggota pencak silat "Kera Sakti" dengan pelatih Mas Dharsono yang kala itu bermarkas di kawasan Pathen Nggunung. Memasuki bangku SMA (SMAN I) di Boyolali, aku aktif di seni bela diri "Tae Kwon Do" dengan pelatih Sulis Lee (yang memang menurutku mirip dengan Bruce Lee : Tokoh Legendaris Film Karate dari China), dimana tempat latihannya adalah Gedung Departemen Penerangan Kab. Boyolali. Dan memasuki bangku kuliah (Fisipol UNS Solo), aku aktif di perguruan pencak silat "Perisai Diri" yang pusat latihannya di GOR UNS Kenthingan.

Pada semester awal, untuk memilih jenis kegiatan kemahasiswaan, banyak alternatif yang aku coba jalani, diantaranya :

1. Menjadi anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) alias militer kampus disini aku mengenal sosok Umar Shahab - keturunan Arab sekarang adalah dokter di Angkatan Laut dan bertugas di Tanjungpriok, Suroso, seorang komandan Menwa yang ganteng meski pendek dan perawakan kecil tapi cukup disegani dan berwibawa juga Warmin yang kala itu berbadan gempal, kumis tebal dan bergaya militer asli, serta Yudi Kermit sosok yang kurus tinggi langsing dan sedikit slengek'an dan sekarang aktif di LSM Greenpeace Asia.

2. Menjadi anggota Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UNS, dimana aku mengenal Buyung Rahmansyah, pemuda tambun yang mahir memainkan segala alat musik dan bersuara cukup melengking, Juga Ambarwati mahasiswi Sosiologi UNS, gadis Klaten yang kala itu kecantikannya dan rambut panjangnya melebihi Lidya Kandouw.

3. Aktif di Senat dan BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa), baik tingkat Jurusan, Fakultas bahkan Universitas, disini aku banyak mengenal tokoh aktifis kampus kala itu, ada Mas Dian Navi seorang intelektual dan orator ulung yang sejak mahasiswa berpenampilan bagai seorang pejabat, beliau juga pemuda NU tulen, Ari Hunter yang memang mirip pelakon film serial Hunter yang sekarag Dekan di sebuah Universitas terkemuka di Jakarta, Mas Leo yang gagah dan garang segarang Leo. Mas Eka yang dari Cirebon yang lembut dan berwibawa. Mas Edi Abdul Malik yang ganteng dan berkacamata, Mas Giyanto, yang kala bencana Gempa Jogya Klaten beliau diwawancara sebuah televisi dalam posisi sebagai seorang camat di salah satu kecamatan di Klaten. Untuk teman seangkatanku yang masih ingat dalam memori pikiran adalah : Yayus Sutrisnanto, Nur Endah Krisnayani, Endah Ciptaningrum, Endah Widiarsi, Bambang Sutrisno, Bintang Urip Hidayatullah, Isnainiyyah Sri Rohmani, Zan Riyanto, Saryanti penari cantik luwes dari Kraton Mangkunegaran Solo, Kadimin, M. Qoyyim, Bernadin Jauhari, Victor Cembry Indriarto, Yuniarso Tri Waloyo, Budiyono, David, Joni, Budiarjo, Budi Raharjo, Ira, Agung, Gunawan Becak, Agus Saliwang, Hargo, Prawoto, Ardi Purnomo dan Mariana Nugroho.

4. Aktif di Masjid Nurul Huda UNS Kenthingan, aku mengenal seseorang yang meng-asisteni materi ke-Islam-an padaku yang sekarang sebagai Humas di Indosiar Mas Ghuffron Syakarill, ada juga Mas Amin Wahyudi, sekarang Dosen Fakultas Ekonomi UNS yang lembut dan penyabar. Saat itu aku adalah bagian dari Limited Group di Jamah masjid Nurul Huda yang notabene adalah sekaligus Aktivis Senat Mahasiswa Fisipol UNS diantaranya : Adib Zuhairi, M. Farkhan, Aku sendiri - Yanuar Ahmad, Novianta Kusuma, Bambang Sutrisno dan M Saifulloh. Diantara kita sebenarnya ada semangat rivalitas yang kental sekali, maklum gesekan antara aktivis kampus dan ekstra kampus kala itu sangat panas dan keras. Aku bersyukur, kalau soal mengaji secara tajwid dan tartil akulah yang terbaik menurut versi Mas Amin Wahyudi.

Dari sinilah, aku sempat menjadi aktivis radikal dalam sebuah jamaah kajian yang exclusive dengan menampilkan atribut dan ciri khas tertentu, dengan pola pola tertentu dan menjalin perkawanan dengan kalangan tertentu pula, sampai sampai bagi jamaah perempuannya, aku sempat dijadikan semacam bodyguard, jika mereka merasa dileceh oleh laki laki, tak jarang mereka jauh jauh berjalan dari tempat kuliahnya menuju kampusku bahkan kost-kost-an ku untuk mengadu agar aku menghajar orang yang mengganggunya dan atau sekedar curhat (istilah sekarangnya). Untung hal itu tidak berkelanjutan setidaknya memasuki semester 4 sudah aku tinggalkan.

Dari kesemua aktivitas yang aku jalani saat itu tampaknya masih ada kekosongan yang belum terjawab, lewat diskusi panjang antara aku dan Dwiki Setiyawan (sekarang sebagai penghubung daerah jawa timur lembaga DPR RI) dan Wahyudi -mereka adalah aktivis HMI sejak semester I, maka pada awal semester 5 aku putuskan untuk masuk menjadi Anggota HMI, HMI Cabang Surakarta. Terkesan terlambat memang, tapi dari sinilah pergolakan pemikiran ku yang selama itu tidak menemukan wadah, setelah di HMI aku berhasil menemukannya. Bahkan wadah itu teramat luas ... yang pada akhirnya membuat aku sedemikian kerdil diantara para aktivis HMI kala itu.

Menjadi anggota HMI diawali dari mengikuti sebuah training yang dinamakan Latihan Kader tingkat I (LK I). Saat itu dilaksanakan di sebuah gedung tua dan temboknya bolong bolong di jalan Yosodipuro No. 81 Surakarta. Teman seangkatanku yang aku ingat diantaranya : Susanto, Teguh, Mas'ad T, Abdul Kohar, Nur Khalim, Budi Nugroho, Tri Hastuti Nur, dan lainnya yang aku sudah lupa.

Dari Training LK I itulah aku mengenal ketua cabang kala itu : Seno Hadi Sumitro, dan beberapa pengurus cabang, aktivis HMI di Solo, sekaligus pengelola LK I, diantaranya : Abdul Kholiq Muhammad, Joni Nur Azhari, Purwoko, Hari Mulyadi, Ahmad Mahmudi, Mashartantowi, Mediansyah, Rini Ekowati, Erma Pujiwati, Mundi Rahayu, Ahmad Zabadi, Mas Yahya, Fatah Yasin, Rafik Karsidi, Ahmad Nadir dan banyak lagi.

Singkat cerita, mengingat usia mahasiswa dan tingkat semester yang sudah cukup tua, maka dalam dunia ke-HMI-an, aku tidak merintis dari tingkat Komisariat. Bahkan selesai training LK I, aku langsung ditunjuk sebagai ketua panitia Konperensi Cabang Luar Biasa (Saat tergulingnya Seno Hadi Sumitro dan terpilihnya Cak Olik/Abdul Kholiq Muhammad), ada kisah tak terlupakan yaitu : pas di acara pembukaan, banyak yang masih ingat.... saking heroiknya aku dengan HMI, maka lagu Indonesia Raya aku nyanyikan setelah lagu Hymne HMI (padahal sebenarnya susunan itu terbalik : Indonesia Raya dulu baru Hymne HMI) .... saat itu aku ketua panitia sekaligus sebagai pemimpin menyanyikan lagu (Dirigen).

Di kepengurusan Ketua Cabang Cak Oliq, aku langsung didudukkan sebagai pengurus cabang dan bertugas sebagai ketua Departemen Kemahasiswaan dan Perguruan Tinggi dan Kepemudaan (Departemen PTKP) dibawah Ketua Bidang PTKP yang kala itu dijabat oleh Eko Nugriyanto. Kepengurusan Cabang Surakarta saat itu adalah diantaranya Adib Zuhairi, Yudo Pramono, Rohadi, Joko Wahyudi, Hafni Istiqomah, Siti Badriyyah, Mardi Nugroho, Slamet Riyadi, Kotrut Tatris dan Mashartantowi.

Untuk menutupi keterlambatanku dalam perkaderan, aku melakukan crassprograme dengan aktiv mengikuti kelompok diskusi, kajian ilmiah baik di kampus maupun di lingkup HMI, demikian juga aku mengikuti LK II (latihan Kader II) yang dilaksanakan di Salatiga, mengikuti Senior Course (SC) yang dilaksanakan di Dagen - Jogyakarta, kala itu Ketua Cabang Jogya adalah Harun Al Rosyid dan sekretaris umumnya adalah Abdurrahman Irsyadi (Ari). Dan mengikuti LK III (Latihan Kader III) di Jambi - Sumbagsel. Selanjutnya aku aktiv mengelola latihan kader yang dilaksanakan hampir tiap minggu di HMI cabang Solo sampai aku menamatkan bangku kuliah dan mengakhiri karir di HMI cabang Solo untuk selanjutnya menjadi warga baru Korps Alumni HMI (Kahmi yang berkedudukan di Jakarta).

Pada saat menjadi Instruktur/pengelola latihan kader (LPLK) dan sekaligus menjabat sebagai Ketua Umum Lembaga Pengelola Latihan Kader (LPLK), kalau dipikir pikir, saat itu aku satu satunya pengurus Cabang yang sudah berstatus sebagai sarjana .... dan jika boleh berandai andai .... seandainya saat itu aku juga mencalonkan diri sebagai calon ketua Badko ... maka akulah satu satunya kandidat ketua Badko yang juga sudah sarjana ...

Mungkin, itulah jalan kemanusiaan - jalan karir manusia, sampai sekarang kecenderunganku berkarir pun tidak jauh dari proses regulasi yang pernah terjadi di cabang dulu, aku tidak memiliki kans bawaan/talenta/ mental yang pas untuk menduduki jabatan sebagai top manager, dan biasanya lebih at home menjadi posisi orang kedua, kecuali itu adalah sebuah given dan tidak bisa tidak dimana aku diposisikan sebagai orang nomer satu. Sungguh suatu tolok ukur yang kurang lebihnya representatif, ini pernah dikatakan Dwiki Setiyawan dan Mashartantowi sekitar 18 tahun yang lalu, ketika sama sama belajar memahami cara pikir dan cara tindak saya dan kawan kawan dalam sebuah training yang bernama Achievement Motivation Training (AMT)/training motifasi untuk berprsetasi, dan prediksi atau predikat itu aku akui tidak meleset jauh.

Inilah kekuranganku, masuk HMI pada tingkat semester yang sudah lanjut, maka karir di HMI dan di Kampus ritmenya jadi mundur dan makan waktu. Mungkin kalau hidup di jaman sekarang nyaris terancam Drop Out (DO) barangkali. Tapi itulah, sesuatu yang sungguh sungguh aku syukuri. Aku merasa tidak salah pilih. Karena disini aku mengenal orang orang yang berwawasan kebangsaan sejati, menjalani kehidupan mahasiswa secara sederhana dan bersemangat tinggi serta bernafaskan keberagamaan dan moralitas Islam yang bisa dibanggakan.

Skripsi aku susun berkejaran dengan waktu sejak semester 8 sampai semester habis, alias semester 14 !, dalam proses itu aku bersyukur punya sahabat beberapa aktivis LSM (Purwoko, Mas Mahmudi, Mas Hari Mulyadi, Mas Rafik Karsidi dan Mbak Kiki/Chandrakirana) dan kawan kawan di jurusan Kommunikasi Massa (Susanto, Bunug, Erika dan sebagainya), mereka mereka adalah yang membantu aku dalam penyusunan skripsi sampai acara konperensi pers usai ujian pendadaran skripsi segala. Kebetulan mayor skripsiku mengambil judul "Struktur mediasi dalam pemberdayaan masyarakat" dengan dosen penguji Pak Darwin, Pak Marsudi, Pak Harsono dan Pak Priyanto. Dan konperensi pers diulas oleh bang MT Arifin serta dihadiri oleh beberapa wartawan lokal kota Solo, sampai pada hari berikutnya beberapa media cetak dan elektronik memuat acara yang dikomandoi oleh Liwet Communication (mungkin ini adalah event organizer pertama di Indonesia) dari Bunug tersebut, malah harian Kedaulatan Rakyat mengangkatnya sebagai kolom Tajuk Rencana !

Sampai pada saat wisuda tiba, bulan Juni tahun 1995, aku diwisuda dengan kemelud (bukan Cum Laude), dimana kawan seangkatanku di Administrasi Negara 1988 hanya tinggal 9 orang saja, dari 130 an orang mahasiswa.

Aku tidak mau larut dalam duka karena track record ku di kampus sangat tidak memuaskan, maka tanggal 13 Bulan Oktober 1995 aku putuskan segera hijrah ke Jakarta bergabung dengan senior senior yang mantan pejabat Pengurus Besar (PB HMI) yang kebetulan kontrak rumah di bilangan jalan Warung Buncit XIII (atau Mampang 11). Mereka adalah mantan kepengurusan PB HMI angkatan 1992 - 1994 dibawah kepemimpinan Ketua Umum Yahya Zaeni dan Sekretaris Jenderal Fatah Yasin, dan periode selanjutnya, tahun 1994 - 1996 berada dibawah kepemimpinan Ketua Umum Taufik Hidayat.

Konon katanya, pada saat persiapan Kongresnya Cak Yahya (Yahya Zaeni) pengurus melakukan sillaturrahmi ke salah satu diantaranya adalah ke Bapak Beddu Amang, Kepala Bulog kala itu dan Beliau mengatakan, meskipun tidak berjanji : tahun 1995 Bulog merencanakan ada rekruitmen/penerimaan karyawan baru, maka kepada mantan pengurus besar HMI yang berminat bisa mengajukan lamaran .... ya, masih satu tahun lagi (celetuk pengurus kala itu).

nah, di Warung Buncit/Mampang Prapatan itulah para mantan pengurus PB HMI bersama sama ngupoyo upo dan bertahan ditengah deru kota Jakarta menunggu datangnya tahun 1995.

Pucuk dicinta, Ulam tiba, pas tahun 1995 aku masuk Jakarta. Tujuan langsung adalah minta diri untuk diperkenankan bergabung dengan mantan pengurus PB HMI kala itu dengan menggunakan katabelece Mas Fatah Yasin dan Mas Joni Nur Ashari, aku dengan polos langsung diterima bergabung dengan para mantan PB di markasnya di Mampang Prapatan/Warung Buncit (jadi anak Mampang).

Di Mampang kala itu ada : Hakim Kamarudin, Joni Nur Ashari, Julianto, Arsad M. Sud., Admiral Aulia, Cak Nuril, Mas Syahjoni Putra, Suharto Djabbar, Awaludin. Sering juga datang dan pergi seperti Muhammad Amin, Mohammad Saad, Adiknya Hakim kamarudin, adiknya Cak Nuril alias Romadhon, saudaranya mas Syahjoni Putra, laode Amijaya dan Abdul Majid.

Di Mampang ini pada akhirnya datang dan pergi, maklum ada yang kontrak rumah sendiri, menikah, atau ikut keluarganya di Jakarta. misalnya Mas Saad menikah dengan Lely Pelitasari, Mas Joni menikah dengan Mbak Papik, mas Harto Jabar menikah dengan Sianne Indriyani, Laode menikah dengan Ririn, Uda Harmonis menikah dengan Sri Rahmi, Mercy menikah dengan Abdul hamid, Admiral Aulia menikah dengan kekasihnya.

Tahun bergerak begitu pelan .... aku dalam kebosanan menunggu bukaan pekerjaan di Bulog, dan aku menjalaninya dengan melamar dan melamar pekerjaan ke berbagai tempat. Hal ini biasanya dimulai dari hari Sabtu dan Minggu dengan membaca koran nasional untuk melihat iklan pekerjaan, Senin, Selasa dan Rabu mengirimkan berkas lamaran ke kantor pos, atau bahkan menemui alamat yang bersangkutan untuk wawancara langsung. Dan hari Kamis dan Jum'at "tirakat" prihatin di Masjid Istiqlal (bahkan aku punya tempat khusus di pilar 6 sayap luar masjid Istiqlal, tempat dimana aku sering menghabiskan waktu) demikian terus menerus ritme kehidupan itu aku jalani dengan keprihatinan yang mendalam.

Dari beberapa lamaran yang ada, aku pernah menjalani sebagai sales alat kesehatan. Test di United Tractors, wawancara sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta (Universitas Muhammadiyyah Jakarta), wawancara sebagai dosen di Universitas Trisakti, wawancara sebagai dosen di Universitas Tarumanegara, ikut main Valas di bursa berjangka, Tim penulis buku Biografi Ginanjar Kartasasmita, Tim surveyor Perum Pegadaian, dan terakhir adalah On Job Training sebagai reporter olahraga, kriminalitas dan gaya hidup di Anteve dan sebagai staf pengajar di Universitas Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) di Kampus Kramat Raya dan Kelapa Gading. Dua pekerjaan terakhir sempat aku jalani hampir satu semester.

Tahun 1995 berjalan, hampir dari semua yang ada di pondokan itu (Kelompok Mampang) mendaftarkan diri ke Bulog, bahkan termasuk adik dan saudara saudaranya. Termasuk aku diantaranya yang berkas lamaranku dibawa oleh Mas Arsad M. Sud. sarjana kedokteran lulusan Universitas Sultan Agung Semarang itu.

Ditengah keasyikan menjalani pekerjaan sebagai dosen dan reporter televisi, aku mendapat panggilan dari Bulog untuk mengikuti test demi test setidaknya dari bulan Mei sampai dengan September 1995, dari test ujian umum, test matematika, psikotest, test kesehatan di Lakespra Saryanto, test kejiwaan di Psikologi UI, sampai test bersih lingkungan (LitSus : Penelitian Khusus) dari Badan Intelejen ABRI. Sampai akhirnya pada bulan September dilaksanakan pembekalan bagi yang diterima sebagai pegawai untuk di didik sebagai calon pegawai Bulog selama 3 minggu.

Aku termasuk diantaranya yang diterima untuk mengikuti training pembekalan itu. Pada suatu perjalanan malam dengan kendaraannya mas Saad aku bersama mas Yasin, Dwiki, Mas Joni, Hening (pacarku) dan tentunya Mas Saad sendiri, aku kemukakan kesulitanku untuk memilih apakah meneruskan sebagai dosen dan wartawan atau masuk sebagai pegawai Bulog ?? dan hampir semua sahabatku itu mengatakan agar aku memilih Bulog, demikian juga ketika aku tanyakan pada kedua orang tuaku, beliau juga mengatakan demikian. Akhirnya dengan semua dialog itu sekaligus minta petunjuk Allah SWT, maka aku putuskan untuk masuk sebagai pegawai Bulog.

Training pembekalan berakhir, dan penempatan dilakukan dengan memberikan amplop tertutup kepada tiap calon karyawan ... dan ketika kubuka amplopnya : ... aku dinyatakan ditugaskan untuk kali pertama di Kupang - Nusa Tenggara Timur (NTT), sungguh sedih dan kecewa sekali .... bahkan sempat aku ingin menghubungi ibu Sandra - Manajer HRD di Anteve untuk kembali bekerja di Anteve dan kembali menekuni pekerjaan sebagai dosen. Mas Saad pun turut sedih melihat kenyataanku ini ketika tahu bahwa aku ditempatkan di NTT. tapi mas Joni dan Mas Yasin membujukku untuk dijalani saja dulu, dan beliau yang di Jakarta akan berusaha tetap ingat dan berkomitmen untuk sekian tahun lagi memperjuangkan aku untuk dapat pindah ke Jakarta atau setidaknya pindah ke Jawa.

O, ya. para senior mantan PB yang di Mampang hampir semuanya diterima di Bulog, yang tidak melamar antara lain : Hakim Kamarudin, Cak Nuril, Julianto, Admiral Aulia (tapi adiknya 2 orang, sebagai kompensasinya diterima di Bulog) dan semua yang kutulis diatas kebanyakan diterima sebagai pegawai Bulog, diantaranya : Suharto Jabar, Sianne Indriyani, Abdul Hamid, Syahjoni Putra, Joni Nur Ashari, Muhammad Amin, Mercy, dan Laode beserta istrinya. Bahkan aku masih teringat jelas siapa sahabatku yang tidak bisa masuk Bulog kala itu ... diantaranya Tri Endraningsih (istrinya Dwiki Setiyawan dan Eko Nugriyanto : kalau nggak salah karena jurusan keilmuan beliau adalah Matematika).

Dari sinilah setulusnya aku katakan, bahwa ternyata pada akhirnya pekerjaan ini juga tidak lepas dari jalinan persahabatanku dengan para anggota HMI terutama para seniornya, sebuah organisasi tanpa Bapak/Ibu yang mandiri dan nirlaba tapi memiliki semangat yang tinggi untuk membangun bangsa Indonesia dengan segenap kemampuannya dan kebisaannya. Dan jejaring antara aktivis dan alumni HMI di republik ini boleh dikatakan paling solid. Meskipun bagi yang iri sering muncul sindiran : HMI Connection ? HMI Corrupt ? HMI Golkar ? dan banyak lagi seperti yang pernah diungkapkan oleh Cak Imin : Ketua PKB.

Sekarang aku masih sebagai salah seorang Kepala Seksi yang menangani masalah penyaluran beras kepada lembaga pemerintah misalnya : TNI (AD, AL, AU), Polri, Depkumham, Depsos, Bencana Alam, Depnakertrans dan sebagainya di Divisi Penyaluran - Direktorat Pelayanan Publik. Dan semua sahabatku diatas masih mengisi ruang dan waktu di tiap jejaring otak ku, dan sekali lagi, posisi posisi mereka cukup solid masuk dalam urat nadiku - tak tergantikan, tak terbantahkan.

Mereka mereka adalah kawan kawan terbaik ku selamanya, sampai kapanpun.

Mangan ora Mangan, Kumpul !

Persoalan pangan adalah persoalan hidup mati bangsa Indonesia.
Itulah Pesan sekaligus peringatan yang disampaikan oleh Presiden RI Pertama,
Soekarno ketika meletakkan batu pertama
pembangunan Kampus Institut Pertanian Bogor
pada 27 April 1952.
"..... Krisis pangan seharusnya mengingatkan kita pada apa yang paling fundamental :
Sebelum kita bercita cita apapun, perut harus kenyang.
Mana mungkin kita pintar bila perut kita lapar ?
Mana mungkin kita bersatu bila perut kita keroncongan ?
...... Manusia memang tidak hanya hidup dari perut,
Ya, kritik itu tepat bagi mereka yang sudah kenyang dan tak berkekurangan
Tapi, kritik itu sama sekali tak berlaku bagi mereka yang lapar ....."
(Tanda tanda Zaman, Basis edisi Mei - Juni 2008)

Rabu, 02 Juli 2008

politik dan kemunafikan

Anas Urbaningrum, tokoh pemuda nasional mantan Ketua Umum PB HMI sudah beberapa tahun terakhir ini menjadi bintang politik yang segar dimata bangsa Indonesia. Ia tampan, gagah, pintar dan ia memiliki wawasan kebangsaan serta keislaman yang cukup baik.
Kemarin dulu Anas Urbaningrum mengungkapkan sebuah peribahasa yang bersumber dari bahasa Jawa : yang seharusnya berbunyi begini : Esuk tempe sore dhele .... (maaf, namun kala itu Anas menyampaikannya : esuk dhele, sore tempe : kalau ini kan berarti sebuah sikap yang konsisten dan memang begitu adanya sebagaimana proses pembuatan tempe, makanan paling populer di Indonesia)

Artinya kalau pagi masih jadi kedele dan sorenya telah berubah menjadi tempe itu wajar dan alamiah sekali. Tapi kalau paginya sudah jadi tempe kok sorenya berubah jadi kedele lagi ?? ini adalah sesuatu yang mustahil dan hampir tidak mungkin ? alias menyelahi kodratnya sebagai sebuah proses alam.

Dan sebenarnya jarwo dhosok (peribahasa) dari itu yang tepat adalah : Esuk tempe, kok sore ne dhele ? ini adalah sindiran halus ala masyarakat tradisional Jawa ketika menghadapi sebuah inkonsistensi. sebagaimana beberapa contoh misalnya :
- Esem e pait madu : Senyumnya pahit madu ....senyumnya yang manis sekali bisa diibaratkan madu saja masih kalah manis dengan senyuman itu, bahkan madu pun masih terasa pahit dibanding senyuman itu ...
- Anteng kitiran : kitiran atau kincir angin yang bergerak dinamis seperti itu, masih dianggap diam .... ini di ibaratkan untuk menyindir seseorang yang main kasak kusuk tak pernah berhenti terlebih bikin isu sana sini yang tiada isi ?
dan banyak lagi ..

Kata kata sindiran itu muncul manakala anggota dewan (DPR) terpecah dan berseberangan antara kebijakan partai dengan kebijakan pemerintah. Utamanya kebijakan partai yang memegang pucuk tertinggi pemerintahan bangsa ini - kita mengenal fenomena partai penguasa dan partai oposisi meskipun dalam kenyataannya hal itu tidak ada.

Seyogyanya, dalam fatsun politi 'ketimuran' hal itu tidak akan terjadi, maklum nuansa kepolitik-an adalah nuansa dukung mendukung dan konsistensi atau kata lainnya adalah semangat golongan/semangat kepartaian/semangat inklusifisme, untuk setia dan patuh dengan apa kata dan sikap partai, syukur itu adalah hal yang baik dan universal, burukpun kalau itu sudah menjadi keputusan maka fatsun-nya adalah tiada kata dan sikap lain kecuali harus didukung !! Hal ini tentunya akan menjadi persoalan bagi orang yang gerah dan berpihak pada sebuah kebenaran yang universal misalnya terjadi pada Yudi Crisnandy dimana partainya, adalah partai pemerintah, tetapi hati nurani dan sikap pemikiran beliau tidak sejalan dengan pemikiran pemerintah.

Lalu mau kemana sikap politik individu harus berpihak ?
Apakah Right or Wrong Its my Country masih cukup ampuh untuk sekedar menunjukkan nasionalisme dan kedewasaan politik seseorang ?

mampir ngombe

Dalam khasanah tradisi masyarakat Jawa, dahulu di setiap rumah biasanya memiliki sebuah Genthong (tempat air) yang terbuat dari tanah dengan kapasitas rata rata 40 sampai dengan 60 liter air bening yang ditempatkan dihalaman muka dan biasanya dipinggir jalan tempat orang berlalu lalang.

Tujuan dari penempatan Genthong sekaligus dilengkapi dengan siwur (sebuah gayung yang terbuat dari cangkang/bathok kelapa dengan gagang yang panjang yang berguna untuk mengambil air di wadah tersebut. Biasanya air itu untuk diminum, membasuh muka dan kaki setelah menempuh perjalanan dan melewati sebuah genthong dimaksud. Dan air itu disediakan pemilik rumah utamanya yang berada di pinggir jalan raya secara gratis/cuma cuma.

Dari sinilah muncul peribahasa yang berbunyi :
Urip sak dremo nglampahi, nora suwe
hanamung koyo mampir ngombe


Hidup ini hanya sekedar saja, sebentar saja, bagaikan kita mengambil air minum ... untuk selanjutnya melakukan perjalanan lagi .... jauh dan jauh ...lagi
Dalam ke-sekejap-an waktu itu ? kita mau apa, harus bagaimana, melakukan apa saja, untuk apa, bagaimana nantinya ..... dan banyak lagi pertanyaan yang tidak pernah menemukan jawaban yang memuaskan ..
Dengan mengharap pertolongan Tuhan saja dan dengan dilalui saat saat itu dengan berbuat baik saja rasanya belum cukup.
Sebab, baik menurut kita belum tentu baik menurut Tuhan ...
Tapi baik menurut Tuhan, pasti baik juga bagi kita ummatnya ini ...
Karena Tuhan bukan sedang ber-instruksi, maka kemanusiaan dan peradabanlah yang menjawab dan nguri uri kata menurut Tuhan itu ...
Dan kita tidak ada yang tahu pasti,
Sebab kepastian hanya milik Tuhan.