Senin, 28 Juli 2008

Mahluk Sosial

Membaca milis Kahmi Pro beberapa waktu lalu, aku teringat sentilan salah seorang anggota :

"Bila semasih mahasiswa (belum usia 30 tahun) anda tidak sosialis maka anda tidak punya hati nurani ! Tapi bila sudah diatas usia 30 tahun anda masih sosialis berarti anda tidak punya kepala alias tidak punya otak !"

Dari posting ini, pikiran ku teringat pada beberapa puluh tahun yang lalu tepatnya tahun 1990 an sewaktu menjadi aktivis mahasiswa UNS dan sekaligus aktivis HMI di kota Solo dimana semenjak selesai perkaderan LK I mulailah muncul ke permukaan peredaran buku buku teori kritis dari kawan satu ke kawan yang lain (saling pinjam) yang wajib untuk dibaca dan dipahami jika ingin disebut sebagai aktivis mahasiswa dan aktivis gerakan mahasiswa.

Buku buku itu antara lain misalnya buku buku Soekarno seperti Dibawah bendera Revolusi, Sarinah, Indonesia menggugat !, buku buku sastra sejarah Pramudya Ananta Toer (PAT) seperti Anak semua bangsa, panggil aku kartini saja, gadis pantai, perburuan, buku buku pergerakan karya Soe Hok Gie seperti catatan seorang demonstran dan dibawah lentera merah, Bukunya Ahmad Wahib Pergolakan Pemikiran Islam, buku buku karya Kuntowijoyo seperti Pergolakan kaum tani, buku Soedjatmoko, buku buku Bung Hatta, buku buku dari Tan Malaka seperti Madilog, buku buku Islam kritis Fazlur Rahman, buku buku karya Nurcholish Madjid, buku buku Amien Rais, Imam Ghozali sampai buku buku karangan orang orang asing seperti Peter L Berger, Kazuo Shimogaki, Juergen Habermass, Mariyah Mernissi, Karl Marx, John Naissbit dan Patricia Aburdene dan yang paling mutakhir adalah bukunya Karl May.

Bahkan irama musik dan syair lagu pun ikut menginspirasi pergerakan moral ku waktu itu, misalnya bagaimana aku tergila gila dengan lagu lagunya Iwan Fals, Lagu lagunya kelompok Kantata Taqwa, lagu lagunya Franky dan Jane, Ebiet G Ade, Pitat Haeng, Leo Kristi dan lagu lagunya Sawung Jabo.

Rata rata isi buku dan syair lagu dan diskusi tentang semuanya itu saling berkait dan memberikan pemahaman atas cita cita kemanusiaan yang hendak memerdekakan diri dari kebodohan, kemiskinan, ketidak berdayaan dengan berjuang melawan Tuan tanah, Penguasa ekonomi kaum kapitalis dan politik yang totaliter, sistem ekonomi yang terpusat pada kaum borjuis dan konglomerat sementara yang lainnya adalah buruh, pekerja dan kaum minoritas yang miskin dan bodoh (proletar).

Lebih parahnya lagi adalah sejarah bangsa Indonesia yang seolah larut dan kekal dari budaya kaum tertindas, terjajah, konflik internal, terpecah belah dan bermuara kembali pada kemiskinan dan kebodohan, bahkan Tan Malaka dalam bukunya Madilog menegaskan dengan pertanyaan terbuka : " Mengapa kita sampai di jajah selama 350 tahun ???" sebuah sejarah yang sangat konyol dan memalukan serta merusak mentalitas di hampir semua anak bangsa !

Buku buku itu juga memberikan tuntunan bagi kaum muda seusiaku (kala itu pada kisaran usia 25 tahun) yang bergairah dan ambisi untuk maju, tampil dimuka dan memperjuangkan sekaligus merebut kemerdekaan itu ! kemerdekaan bukan dalam arti mengulang Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamasikan suatu bangsa, tetapi kemerdekaan dalam arti menghadapi lingkungan sekitar yang terhegemoni oleh bias kebijakan nasional rejim Orde Baru yang serba Kapitalis, Nepotis dan anti sosial yang pada gilirannya masuk ke meja belajar kita, kampus kita, organisasi kita, jiwa dan raga kita.

Dan dari sinilah anak anak yang tergabung dalam organisasi HMI cabang Solo memiliki kegairahan yang tinggi untuk senantiasa memperkaya ilmu pengetahuannya akan buku buku yang bersifat kemanusiaan, humaniora, sosial, sosialis, untuk selanjutnya membentuk/membangun opini dimasyarakat sekaligus memberdayakan pola pikir dan pola tindak masyarakat untuk berani mengungkapkan pikiran dan masalah yang dihadapinya. Rakyat diajak berpikir maju dan mandiri dan tidak dijadikan sapi perahan lagi oleh kamu kapitalis baik itu tradisional maupun kapitalis moderen.

Semenjak itu pula lingkungan pergaulan ku menjadi semakin luas dan bertemu para aktivis kota Solo, misalnya Mas Hari Mulyadi, Ahmad Mahmudi, MT Arifin, Chandra Kirana, Mashartantowi, Purwoko, Joni Nur Ashari, Ahmad Nadir, Hersy Yamanto, Mundi Rahayu, Eko Beruk, Wahyu Perot, Rohadi, Yulianto, Kohar, Mas'ad, Santo juga beberapa aktivis lintas daerah dari Salatiga, Semarang, Jogyakarta, Surabaya dan Jakarta.

Antara buku dan perkawanan itu terbentuklah sebuah aktivitas pikir dan perbuatan yang menyatakan dirinya sebagai seorang yang berpikir kritis, anti kemapanan dan menganggap regim yang berkuasa saat itu adalah sudah sangat bobrok, dititik nadir dan hamil tua.

Dari pola pikir inilah kemudian memunculkan gerakan demonstrasi mahasiswa di kota kecil Solo yang selama ini dikenal dengan kota yang adem dan ayem tentrem. Tercatat misalnya gerakan mahasiswa menolak pembangunan Kedung Ombo yang dimotori oleh Mas Joni, aksi mahasiswa menolak SDSB yang dimotori oleh Cak Oliq, aksi menolak ruislaag Mambaul Ulum yang dikoordinir oleh saya sendiri, aksi menolak ruislaag pembangunan gereja di kawasan Kenthingan oleh pemuda dan masyarakat Kenthingan, dan beberapa aksi mahasiswa lainnya.

Maklum, tahun 1990-an adalah tahun rakus rakusnya regim totalitarian Orde baru, baik ditingkat pusat sampai pada tingkat daerah. Ibarat kata pepatah Jawa, saat itu adalah saat "Heru Cokro" yang artinya Cokro/godam/gebukan lah yang paling berkuasa, artinya pula bagi siapa yang bergerak maka dapat dipastikan akan terkena sabetan/gebuk kan godam itu.

Tapi yang namanya mahasiswa, ibarat ditindas makin trengginas !, dipukul makin keras ! dan di tendang makin menantang ! disakiti makin menjadi jadi ! dan di lawan makin siap untuk berkorban ! Karena yang ada dalam darah dan hati mahasiswa yang terilhami oleh pemikiran kritis dan sosialis maka sangatlah kecil artinya melawan kedholiman seperti penguasa yang korup itu.

Entah karena apa, yang jelas buku dan perkawanan yang solid dan merupakan ruh dasar dan penyemangat utama untuk berpikir dan bertindak selalu berani melawan ke tidak adil an yang ada disekitar kita, sekecil apapun itu sampai sampai pada suatu masa aku pernah mengambil sikap emoh/anti/tidak mau untuk pergi berbelanja ke pasar moderen/plasa (mall : istilah sekarang) karena aku menganggap hal itu adalah simbol kapitalisme yag begitu menjajah ribuan orang buruh yang tidak lain adalah juga saudara saudara ku.

Pada usia menginjak tua ini selanjutnya juga ada jokes yang lainnya : "Otak sih masih Sosialis, Tapi perut yang gendut sudah mewacanakan Kapitalis dan payahnya lagi jangan jangan bawah perut nya ... Liberalis ... ?? "

oalah !

Tidak ada komentar: