Rabu, 02 Juli 2008

politik dan kemunafikan

Anas Urbaningrum, tokoh pemuda nasional mantan Ketua Umum PB HMI sudah beberapa tahun terakhir ini menjadi bintang politik yang segar dimata bangsa Indonesia. Ia tampan, gagah, pintar dan ia memiliki wawasan kebangsaan serta keislaman yang cukup baik.
Kemarin dulu Anas Urbaningrum mengungkapkan sebuah peribahasa yang bersumber dari bahasa Jawa : yang seharusnya berbunyi begini : Esuk tempe sore dhele .... (maaf, namun kala itu Anas menyampaikannya : esuk dhele, sore tempe : kalau ini kan berarti sebuah sikap yang konsisten dan memang begitu adanya sebagaimana proses pembuatan tempe, makanan paling populer di Indonesia)

Artinya kalau pagi masih jadi kedele dan sorenya telah berubah menjadi tempe itu wajar dan alamiah sekali. Tapi kalau paginya sudah jadi tempe kok sorenya berubah jadi kedele lagi ?? ini adalah sesuatu yang mustahil dan hampir tidak mungkin ? alias menyelahi kodratnya sebagai sebuah proses alam.

Dan sebenarnya jarwo dhosok (peribahasa) dari itu yang tepat adalah : Esuk tempe, kok sore ne dhele ? ini adalah sindiran halus ala masyarakat tradisional Jawa ketika menghadapi sebuah inkonsistensi. sebagaimana beberapa contoh misalnya :
- Esem e pait madu : Senyumnya pahit madu ....senyumnya yang manis sekali bisa diibaratkan madu saja masih kalah manis dengan senyuman itu, bahkan madu pun masih terasa pahit dibanding senyuman itu ...
- Anteng kitiran : kitiran atau kincir angin yang bergerak dinamis seperti itu, masih dianggap diam .... ini di ibaratkan untuk menyindir seseorang yang main kasak kusuk tak pernah berhenti terlebih bikin isu sana sini yang tiada isi ?
dan banyak lagi ..

Kata kata sindiran itu muncul manakala anggota dewan (DPR) terpecah dan berseberangan antara kebijakan partai dengan kebijakan pemerintah. Utamanya kebijakan partai yang memegang pucuk tertinggi pemerintahan bangsa ini - kita mengenal fenomena partai penguasa dan partai oposisi meskipun dalam kenyataannya hal itu tidak ada.

Seyogyanya, dalam fatsun politi 'ketimuran' hal itu tidak akan terjadi, maklum nuansa kepolitik-an adalah nuansa dukung mendukung dan konsistensi atau kata lainnya adalah semangat golongan/semangat kepartaian/semangat inklusifisme, untuk setia dan patuh dengan apa kata dan sikap partai, syukur itu adalah hal yang baik dan universal, burukpun kalau itu sudah menjadi keputusan maka fatsun-nya adalah tiada kata dan sikap lain kecuali harus didukung !! Hal ini tentunya akan menjadi persoalan bagi orang yang gerah dan berpihak pada sebuah kebenaran yang universal misalnya terjadi pada Yudi Crisnandy dimana partainya, adalah partai pemerintah, tetapi hati nurani dan sikap pemikiran beliau tidak sejalan dengan pemikiran pemerintah.

Lalu mau kemana sikap politik individu harus berpihak ?
Apakah Right or Wrong Its my Country masih cukup ampuh untuk sekedar menunjukkan nasionalisme dan kedewasaan politik seseorang ?

Tidak ada komentar: